Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Latar Belakang Peristiwa Korban 40.000 Sulawesi Selatan

Latar Belakang Peristiwa Korban 40.000 Sulawesi Selatan

Uraian Tentang Monumen Korban 40.000 Jiwa

Monumen korban 40.000 jiwa ini, terletak di jalan Masjid Raya, Kelurahan Ujung Sabbang, Kecamatan Ujung, Kota Parepare, Propinsi Sulawesi Selatan. Monumen ini dibangun/didirikan bukan hanya dimaksudkan untuk mengenang peristiwa aksi pembersihan Westerling atau pasukannya di daerah Parepare, tetapi juga dimaksud penghargaan dan penghormatan atas jasa-jasa para pejuang terhadap bangsa dan tanah air. Di samping merupakan bukti bahwa rakyat di daerah Parepare dan sekitarnya, bangkit dan berjuang melakukan perlawanan terhadap intervensi militer yang dilakukan Belanda di daerah ini.

Adapun alasan pembangunan monumen pada lokasi tersebut, karena merupakan suatu tempat pembunuhan massal terhadap para pejuang dan rakyat daerah Parepare dan sekitarnya yang dilakukan oleh pasukan Westerling, sebagaimana tercantum dalam prasasti peresmian monumen sebagai berikut :

Monumen lni Di Persembahkan Untuk Para Pahlawan Kemerdekaan Republik Indonesia yang Gugur ditembak oleh Pasukan Westerling di tempat ini, Pada Hari Kamis Pagi 09.00, Tanggal 14 Januari 1947

Bagi kamu yang yang tertarik untuk mempelajari salah satu sejarah bangsa Indonesia yang satu ini, yaitu tentang sejarah Monumen Korban 40.000 Jiwa yang berada di kota Pare-Pare ini, kamu bisa membaca sejarah sinhkat dari monumen tersebut berikut ini.

Latar Belakang Peristiwa Korban 40.000 Sulawesi Selatan

Sejarah Korban 40.000 Jiwa

Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan berita tentang pengangkatan Dr.Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi, tersebar keseluruh pelosok daerah Sulawesi Setelah delegasi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dari Sulawesi yang terdiri dari : Dr. Sam Ratulangi, Andi Pangerang Pettarani dan Andi Sultan Daeng Raja, tiba kembali di Makassar pada tanggal 24 Agustus 1945.

Kedua berita baik tersebut mendapat sambutan gembira dari seluruh rakyat, dan sejak itu bendera merah putih dikibarkan serta pekik merdeka terdengar di mana-mana dan menjadi populer di daerah Sulawesi Selatan. Segenap rakyat di daerah menyambut dan mendukung sepenuhnya serta siap sedia berkorban demi untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Suasana gembira yang dirasakan oleh rakyat itu kembali diliputi mendung karena pasukan Australia atas nama Sekutu dibawah pimpinan Brigjen Ivan Dougherty, mendarat di Makassar pada tanggal 21 September 1945. Di antara pasukan Australia itu ikut membonceng aparat NICA dibawah pimpinan Mayor J.G. Wagner, yang bertugas untuk "memulihkan kembali pengaruh dan kekuasaan pemerintah Belanda di Sulawesi Selatan".

Sedangkan pasukan Sekutu hanya bertugas untuk "melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang dunia ke II serta memulihkan keamanan dan ketertiban. Tetapi pada kenyataannya lebih banyak membantu aparat NICA dalam usaha memulihkan kembali kekuasaan dan pengaruh pemerintah Belanda di Daerah Sulawesi Selatan".

Oleh karena itu, untuk menggagalkan rencana Belanda tersebut dan dalam rangka perjuangan menegakkan, membela dan mempertahankan kemerdekaan, maka Andi Abdullah Bau Maseppe sebagai pemimpin SUDARA di Parepare, mengundang anggota pengurus SUDARA untuk mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan tersebut, semua peserta rapat sepakat untuk mengubah organisasi SUDARA menjadi Badan Penunjang Republik Indonesia (BPRI).

Adapun maksud dan tujuan organisasi adalah "untuk mempertahankan kemerdekaan dan berdiri dibelakang Republik Indonesia, menyebarluaskan aspirasi masyarakat, menjaga keamanan dan ketertiban umum". Sedangkan lapangan usahanya : "memberikan penerangan-penerangan kepada seluruh lapisan masyarakat Parepare dan sekitarnya tentang perlunya usaha pembela kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17Agustus 1945".

Dalam perkembangannya kemudian, pemuda-pemuda mengikuti jejak perwira NICA yang bebas jalan keluar dan terlihat ada kegiatan untuk mengadakan hubungan dengan bekas-bekas pegawai pemerintah Hindia Belanda. Begitu pula dengan bekas pensiunan KNIL, mereka membujuk dan meyakinkan bekas pegawai dan pensiunan akan dipekerjakan lagi dengan nafkah yang lebih baik dari pada waktu-waktu yang lalu.

Atas temuan ini maka pihak BPRI meminta kembali kepada pimpinan tentara sekutu agar perbuatan perwira NICA itu untuk dicegah. Permintaan tersebut ditanggapi positif oleh pihak Sekutu dan membatasi kegiatan perwira-perwira NICA tersebut.

Pihak pemuda tidak puas, karena masih ada perwira NICA yang keluar masuk diwaktu malam pergi bertandang di rumah-rumah bekas pegawai dan pensiunan tersebut, akhirnya pemuda-pemuda mulai membuat aksi dengan cara berkelompok berjalan di jalan raya memakai lambang merah putih mengintimidasi simpatisan NICA bahkan mengancam untuk membunuh mereka.

Beberapa pimpinan NICA dianiaya, rumahnya dilempari batu, saling ejek-mengejek, antek NICA tidak tahan karena takut dibunuh, menyingkir mencari perlindungan kepada tentara Sekutu, akhirnya perwira-perwira NICA tidak berani lagi keluar diwaktu malam.

Langkah selanjutnya ialah memasang papan nama organisasi BPRI pada tanggal 8 September 1945 dan mengibarkan bendera merah putih yang diadakan pada tanggal 12 September 1945, di lapangan La'bukkang yang dihadiri oleh ribuan rakyat Parepare.

Dalam perkembangan kemudian, kelihatannya tentara Sekutu semakin condong membantu tentara NICA, seperti usaha NICA mengedarkan uang NICA dan mendatangkan bahan-bahan keperluan sehari-hari seperti terigu, mentega, gula pasir, susu dan lain sebagainya.

Kemudian NICA memberikan kepada orang tertentu untuk dijual dengan harga murah. Propaganda ini menarik perhatian orang-orang yang tidak teguh pendiriannya, bahkan sudah ada di antara mereka yang membantu NICA yang tentunya merugikan perjuangan BPRI. Sebagai langkah yang ditempuh para pejuang untuk mengimbangi kegiatan NICA tersebut dengan cara:
  1. Andi Makkasau sesudah sholat Jum'at dimasjid Jami menyampaikan kepada jamaah masjid bahwa kita harus meningkatkan persatuan, karena kita sudah ditantang oleh musuh (NICA), maka dianjurkan agar rakyat memboikot orang orang yang membelanjakan uang NICA dimana mendapat sambutan baik, yakni keesokan harinya serentak para penjual dipasar tidak ada yang mau menerima uang NICA.
  2. Andi Abdullah Bau Maseppe secara diam-diam memerintahkan kepada beberapa pedagang beras untuk menjual berasnya di Kalimantan Timur (Balikpapan) dan berusaha membeli senjata api. Perintah ini cukup membawa hasil beberapa senjata api dapat dibawa ke Sulawesi Selatan dengan mendaratkan perahunya didaerah Suppa yang diterima oleh Andi Selle, selanjutnya mengkoordinir para pemuda untuk bergerak dibawah tanah dan memerintahkan bekas Heiho untuk melatih pemuda-pemuda menggunakan senjata api.

Dr. Anhar Gonggong dalam makalah "Andi Abdullah Bau Maseppe Pemimpin Ditengah Krisis dan Kesediaan Berkorban" disampaikan dalam Seminar Pencalonan Andi Abdullah Bau Maseppe sebagai Pahtawan Nasional, menguraikan sebagai berikut: Untuk kepentingan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Bau Maseppe juga berusaha untuk menggunakan tenaga-tenaga yang memiliki keterampilan tertentu, karena pengamatannya pada waktu yang lalu.

Dengan adanya kesiapan pemuda-pemuda beserta bekas Heiho untuk mengadakan aksi atau gerakan dalam kota, maka disiapkan perlengkapan secukupnya (beberapa pucuk senjata dan granat) untuk digunakan mengacaukan kota. Senjata-senjata tersebut, sebagian diperoleh dari bantuan pasukan Ekspedisi TRIPS yang berhasil mendarat di Suppa, seperti : Letnan Abdul Latif, Andi Manjulai dan M.Tahir Daeng Tompo.

Pada akhir September 1946, pemuda-pemuda tersebut melakukan aksinya mengacaukan kota. Letusan granat, tembakan pistol terdengar di mana-mana pada malam hari, gangguan-gangguan pada pos-pos NICA semakin meningkat.

Kenyataan itu mendorong pihak pemerintah Belanda mengusahakan pasukan untuk membantu memulihkan kedudukan kekuasaan di Sulawesi Selatan. Demi keberhasilan "Program Politik Federasi" maka dikirimlah pasukan bantuan ke Makassar.

Pada awal Desember 1946 tiba batalyon tentara Belanda (Koninklijk Leger/KL) dari devisi 7 Desember yang didatangkan langsung dari negeri Belanda. Kemudian menyusul dikirim situ pasukan khusus yang dikenal dengan sebutan Depoot Speciole Tropen (DST) yang dipimpin oleh Westerling dan tiba di Makassar pada 5 Desember 1946.

Pengacauan yang tidak terduga-duga menyebabkan NICA bertambah marah, yang berakibat semua orang yang dicurigai ditahan tanpa alasan yang jelas. Patroli-patroli polisi militernya yang dipimpin oleh Sersan Onken dengan beberapa temannya, siang malam berkeliling kota menyelidiki dan menangkap keluarga-keluarga yang dicurigai.

Aksi NICA yang dilaksanakan dengan tidak berperikemanusiaan itu ditandingi oleh pihak gerilyawan dengan mengadakan penghadangan patroli-patroli NICA di jalan-jalan raya, dengan demikian kekacauan semakin meluas, karena selain dalam kota Parepare dan Suppa, juga di daerah Sidenreng, Rappang dan Barru tentara NICA mendapatkan perlawanan yang sengit.

Pergolakan kota Parepare dan sekitarnya dipelopori oleh tiga kelaskaran yang benar-benar mempunyai kekuatan bersenjata, yakni BPRI, BP GANGGAWA dan HI.

Pembersihan pertama berlaku di Makassar oleh Westerling sendiri, bertempat di kampung Kalu-Kalukuang dan seterusnya di daerah-daerah selatan kota Makassar, kemudian pada kola Parepare dimulai pada tanggal 14 Januari 1947 dilakukan oleh Under Luitenant Vermeulen, bertempat di terminal kota Parepare.

Sekitar jam 8 pagi, tersiar berita di PAW bahwa tentara NICA banyak yang berbaris mengepung pasar dan diantaranya terlihat tentara yang berhasil masuk. Beberapa kaki tangannya berteriak-teriak di luar untuk memerintahkan orang datang untuk menyaksikan penembakan perampok-perampok di terminal.

Tidak lama kemudian datanglah sekelompok tahanan yang berjalan kaki, dikawal oleh M.P dari rumah tahanan ke terminal. Menurut saksi mata bahwa sebanyak 24 orang tahanan berjalan kaki, dikawal oleh M.P, dari rumah tahanan termasuk seorang wanita disuruh jongkok menghadap ke barat di tengah-tengah lapangan terminal.

Kemudian tentara baret merah yang dipimpin oleh Onder Luitenant Vermeulen memerintahkan tentaranya bersiap, tetapi sebelum perintah menembak, wanita yang bernama Sitti Hasariah diperintahkan untuk berdiri kembali untuk meninggalkan tempat/lapangan.

Pada mulanya ia tidak mau meninggalkan tempatnya, ia rela berkorban bersama ayahnya (La Nu'mang) demi Bangsa dan Tanah Air, tetapi dengan kekerasan ia ditarik oleh beberapa anggota tentara dan digiring kembali ke tahanan.

Adapun ke 23 orang ditembak mati saat itu yakni : Makkarumpa Daeng Parani, A. Isa (Saudara A. Selle), Andi Sinta, Abdul Fajid, La Nu'mang; Muhammad Kurdi, Abdul Muttalib, La Siming Puang Side, La Sibali, Oje, La Sube, Andi Mappatolla, Andi Pammusureng, Abu Bakar Caco, Andi Etong, Baktjong, Osman Salengke, La Upe, La Bundu dan Haruna.

Salvo berdentum dan peluru-peluru kaum kolonial menembus daging para partisan, darah bercucuran membasahi tanah yang kering, mereka tersungkur menghembuskan nafasnya yang penghabisan. kemudian pada sore harinya jenazah-jenazah mereka diangkut dengan sebuah truk ke pekuburan di kampung Laberru, dan mereka dimakamkan secara massal dalam satu lubang.

Metode Standrecht yang Bering diterjemahkan "tembak ditempat tanpa proses" atau yang oleh Lembaga Pengadilan Tinggi Belanda disebut metode "hukum darurat" (noodrecht) menunjukkan suatu tindakan kebiadaban dengan pembantaian massal (massacre) berakibat beribu-ribu korban jiwa di Sulawesi Selatan.

Peristiwa ini yang akhirnya kembali membinasakan rencana Belanda untuk memulihkan kedudukan kekuasaan kolonialnya di Indonesia karena telah mengundang munculnya kecaman dari dunia Internasional. Itulah sebabnya pihak pemerintah memutuskan mengakhiri tindakan Westerling dan pasukannya serta memanggil pulang kembali ke Batavia.